Kisah Santri Bermodal Suara Gede
Suatu pagi, saya dipanggil Syaikhuna almagfurlah KH Moh Ilyas Ruhiat, melalui khadamnya Mas Parjoyo, santri asal Cipatujah. Sebagai seorang santri, senang rasanya saya dipanggil Ajengan yang sangat saya hormati itu.
Saya dengan sigap bergegas menuju rumah beliau. Syaekhuna sudah menunggu di sofa. Setelah cium tangan bolak balik dan saya dipersilahkan duduk, beliau berbicara dengan suara khasnya.
“Uyan, Bapak hari ini ada undangan dari PGSD Tasikmalaya untuk mengisi acara maulid Nabi. Tapi Bapak sedang kurang sehat. Tolong Uyan gantikan ya. Sampaikan ke panitia , Bapak mohon maaf tidak bisa hadir!”
Sejenak saya kaget mendapat tugas itu. Bukan tidak mau, tapi saya merasa belum maqamnya. Santri sekelas saya, menjadi badal kiai besar sekelas beliau, Rais Aam Syuriyah PBNU.
Dengan lisan berat saya memberanikan diri bertanya,
“Mohon maaf Bapak, Uyan kan masih junior. Bukankah masih banyak santri yang lebih senior?”
“Sengaja Bapak menyuruh Uyan, supaya rame. Uyan mah suaranya gede dan suka humor,” Ajengan Ilyas menjelaskan sambil tersenyum.
Dalam hati saya bergumam, “Kok Bapak tahu saya suka bercanda? Padahal kalau di depan beliau, saya selalu tertunduk dan jarang ngomong.” Tapi di sisi lain, hati saya sangat berbunga-bunga, senang sekali mendapat perintah dari beliau.
“Mangga Bapak, Uyan akan berangkat. Mohon doa dari Bapak.”
Saya langsung permisi untuk siap-siap melaksanakan tugas itu. Saya mengajak Dodi Hendra, teman akrab di asrama Al-Bahriyah.
Saya dengan Dodi naik angkot menuju lokasi acara kampus PGSD Tasikmalaya, di sekitar lapangan Dadaha. Turun dari angkot kami berdua lalu naik beca.
Sesampainya di pintu gerbang kampus, tidak ada seorang pun panitia yang menyambut kedatangan kami. Apalagi melihat kami yang turun dari beca. Karena waktu itu belum ada alat komunikasi seperti sekarang, untuk mengabarkan bahwa Kiai Ilyas tidak bisa hadir. Jadi, saat kami datang, panitia belum tahu kalau saya adalah badal yang diutus untuk menggantikan.
Akhirnya saya mengenalkan diri sebagai badal Kiai Ilyas yang berhalangan hadir karena alasan kesehatan. Walaupun semua panitia termasuk Ketua PGSD waktu itu tampak kurang puas, tapi mereka bisa menerima alasannya. Acara pun tetap berjalan. Saya mengira-ngira yang terlintas dalam pikiran mereka, “Yang diundang Rois Aam, kok yang datang Rois Khos .”
Suasana acara begitu gaduh oleh suara hadirin yang semuanya mahasiswa calon guru SD ini. Sambutan ketua PGSD pun nyaris tidak ada yang menyimak. Batin saya,
“Waduh, ketuanya saja nggak disimak, bagaimana dengan saya?, Ah bodo amat, yang penting saya menjalankan perintah guru.”
Tibalah giliran saya tampil sebagai penceramah tunggal. MC mempersilahkan saya naik podium. Suasana masih tetap gaduh, padahal sound sistem di aula itu cukup keras. Dengan suara lantang saya baca salam. Anehnya, begitu mendengar bacaan salam saya, hadirin malah tertawa. Rupanya mereka kaget melihat saya yang kurus waktu itu, tapi punya suara yang menggelegar dan membuat mereka kaget. Di sinilah saya mulai menguasai panggung. Alhamdulillah, ceramah saya disimak dengan baik dan tidak terjadi kegaduhan seperti sebelumnya.
Itulah sepenggal kisah nostalgia saya menjadi mubaligh pemula. Sejak menjadi santri Cipasung, setiap bulan Rabiul Awwal dan Rajab datang, saya sering diminta untuk menjadi penceramah. Semua itu bukan karena kealiman, tetapi lebih karena suara gede saja. Dan lebih dari itu, tentu saja karena berkah dari Almarhum Almagfurlah KH Moh Ilyas Ruhiat,
Ilihil Fatihah …
Penulis, alumni Pesantren Cipasung, Ketua PCNU Kabupaten Karawang